Senin, 14 Juni 2010

Cara membuat website gratis cepat

Cara membuat website / blog anda menghasilkan uang lewat co.cc
(RECOMENDED - sudah terbukti membayar)

Perusahaan domain web gratis ini selain menawarkan domain gratis untuk website anda juga menawarkan kerja sama dengan orang orang yang telah mendaftar disana secara gratis.

Domain adalah alamat dari website anda. contohnya http://howtodiy.000webhost.com/. Sedangkan website adalah sekumpulan file html yang disimpan disuatu web server atau web hosting.

Jika anda ingin punya website yang gratis dan bisa menghasilkan bayaran dollar, saya sangat menyarankan anda ikutan di program ini.

Cara nya adalah dengan memberikan link referensi yg mengarahkan pengunjung website / blog anda ke website mereka. Dari setiap orang yg mendaftar, anda mendapat komisi USD 0.1. Kelihatannya sih kecil yah, kalo di konversi ke rupiah cuma sekitar 1.000 rupiah. Tapi coba anda bayangkan jika website anda nantinya punya pengunjung 100 orang perhari saja, maka cara perhitungannya kurang lebih seperti ini.

100 orang x 30 hari = 3.000 orang pengunjung website

Jika dari 3.000 orang tersebut yang mendaftar 50 % nya maka hasilnya

3.000 x 50 % = 1500 pendaftar.

1500 x $ 0.1 = $ 150

Jika dengan kurs 10.000 saja maka penghasilan website anda sebulan Rp 1.500.000,-

Setelah terkumpul minimal $ 1 maka komisi anda dpt dicairkan kapanpun lewat Paypal (jadi bisa dicairkan tiap hari). Klik disini untuk mendaftar CO.CC:Free Domain
jika anda belum punya akun paypall, anda bisa daftar disini

Nah jika anda sudah daftar domain, selanjutnya baca Langkah Membuat Website

Tanpa blog, tanpa website dapat bayaran dollar
Kalau anda males untuk bikin blog/ website, anda juga bisa dapeet dollar. Caranya ikutan situs PTC. PTC merupakan program pay throught click, jadi anda akan dibayar jika anda mengklik iklan di situs PTC. Lebih jelasnya baca disini Tanpa membuat website dapet dollar
Cara membuat website / blog anda jadi penghasil uang melalui PPC lokal
1. Cara membuat website / blog menghasilkan melalui Kumpulblogger

Bila anda punya website atau blog anda bisa daftar di kumpulblogger.com. Bayarannya rupiah yang akan ditransfer langsung ke rekening anda setelah tagihan anda mencapai saldo tertentu.
Cara kerja dari kumpul blogger ini adalah mengumpulkan para pemilik website dan para pemasang iklan melalui media website kumpulblogger.com. Para pemasang iklan ini yang akan membayar kita melalui kumpulblogger ketika iklan mereka yang tampil di website kita di klik oleh pengunjung. Bila anda seorang pemula saya sarankan ikut program ini dulu.

2. Cara membuat website/blog menghasilkan melalui kliksaya.com

Cara kerja dari kliksaya sama seperti kumpulblogger. Untuk mendaftarnya juga mudah hanya saja untuk membuat iklan dari para pemasang iklan muncul di website anda akan sangat sulit sekali kecuali website anda mempunyai banyak pengunjung karena dipersyaratkan website anda punya page view diatas 10.000 perbulan yang kalau di konversi ke jumlah pengunjung minimal sekitar 300 pengunjung website per hari.

3. Cara membuat website menghasilkan uang melalui google adsense

Google adsense merupakan produk dari google yang bisa membuat anda memperoleh penghasilan dollar. Banyak orang yang kaya mendadak gara-gara ikutan. Tapi banyak juga yang gagal. Untuk mendaftar anda harus punya website berbahasa Inggris untuk didaftarkan, setelah itu anda baru bisa menggunakanya pada website anda yang berbahasa Indonesia.
Sebaiknya anda tidak usah ikutan program ini karena untuk pendaftar baru dari Indonesia, iklan dari google adsense tidak akan muncul di website anda dalam bentuk iklan, namun hanya dalam bentuk kotak pencari yang jarang digunakan orang.

4. Ikut website pertemanan penghasil uang di frenszone
Bagi anda terutama para pengguna blog dan frendster, ada tempat bagus nih untuk bisa ikutan situs pertemanan seperti friendster, tapi dibayar dollar. Frienszone namanya. Cara kerjanya tuh begini :

* Anda daftar lewat tombol sign up dan bikin blog disini.
* Setelah anda bikin blog ajak teman-teman anda sebanyak mungkin untuk ikutan menggunakan link referensi seperti ini : http://www.frenszone.com/?idAff=62915

Komisinya lumayan gede, untuk setiap orang yang anda ajak bergabung $ 0.5.
Lumayankan kalo anda bisa dapet 10 orang perhari aja, maka itungannya jadi begini :
$ 0.5 x 10 = $ 5 per hari = $ 150 per bulan, kalo kursnya 10.000 maka hasilnya jadi 1.500.000,-

catatan: frenszone belum pernah membayar saya (jika anda ingin coba ikutan silahkan saja tapi tidak ada jaminan anda akan di bayar). Jika anda ingin mencoba, sebaiknya anda coba yang sudah saya rekomendasikan saja seperti co.cc karena mereka telah terbukti membayar saya.

Tips cara membuat website gratis bisa menghasilkan uang:
1. Jika anda pemula daftarlah ke kumpulblogger dulu. Setelah pengunjung website anda banyak baru ikutan kliksaya.
2. Jangan hanya terpaku pada penghasilan dollar. PPC indonesia pun sanggup memberikan penghasilan tambahan lewat website anda. Pada saat ini pun saya selain ikutan google adsense saya juga ikutan kumpulblogger dan kliksaya, dan hasilnya perbulan lumayan karena hampir menyamai gaji saya satu bulan. Bahkan para senior saya ada yang bisa menghasilkan antara 6 - 8 juta perbulan dari website memalui kliksaya dan kumpulblogger.
3. Jika anda mau penghasilan dollar dari website /blog anda, sebaiknya anda coba baca blog tentang review program affliasi seperti di Xprove.blogspot.com
4. Gunakan website saja. Alasan saya karena blog agak sulit untuk di optimisasi di search engine agar bisa menang. Contohnya blog ini yang memakan waktu hampir satu tahun baru bisa menang di google. Mengenai cara membuat website anda bisa menang di search engine seperti google saya akan bahas di lain kesempatan jika saya ada waktu untuk membuat posting baru di blog tentang cara membuat website ini.
5. Ok kalau anda tertarik buruan untuk membuat website/blog anda menghasilkan uang buruan ikutan.

Minggu, 13 Juni 2010

Facebook Hacker

Hack Facebook Dengan Fake Login? Kenapa Tidak…
Jangan lupa sediain Hosting / Free Hosting untuk naruh script yang mau kita buat fake login lokasinya nanti. Jangan sampe lupa, karena itu hal yang paling wajib dilakukan!

Oke lanjut, mantapin juga dah. Perhatikan Baik² Dan Lakukan Dengan Benar Menurut Petunjuk Dibawah Ini. Jangan Sampe Ada Kekeliruan Sedikitpun! Berikut ini adalah ulasannya:

1. Pertama, bikin dulu sebuah file di hosting tempat anda mau bikin fake login dengan filetype: html. Kemudian kasi nama: “index.html“, sehingga di contoh URL Web adalah: http://www.hostingloedisini.com/facebook/index.html

Bikin Code Sesuai Dengan Contoh Script Dibawah Ini:

Scriptcode pada no 1:
Klick Disini Untuk Lihat Scriptnya

2. Buat file logs.php di hostingan lo sendiri, contoh http://www.hostingloedisini.com/facebook/logs.php di bawah ini script nya.

Scriptcode pada no 2:
Klick Disini Untuk Lihat Scriptnya

3. Jangan lupa dan wajib untuk membuat file kosong yg berformat txt dengan nama: logs.txt – jadi URLnya jadi: http://www.hostingloedisini.com/facebook/logs.txt

4. Ini wajib dan harus diingat! Jangan lupa change mode semua filenya, sehingga permissionnya menjadi: 777 ( chmod + 777). Chmod 777 artinya dimana semua file dapat dibaca (r), dapat ditulis(w), dan dapat di eksekusi(x). Jadi chmod 777 adalah untuk merubah file agar file tersebut dapat di eksekusi oleh User, Groups & Other. Hasil set file permission 777 adalah (rwxrwxrwx) untuk Unix Server. Untuk masalah permission ini juga tergantung dari penyedia hosting, buat yang pake hosting gak nyediain change mode, langsung ajah dicoba tanpa memperhatikan poin ini & berdoa saja ini bisa berjalan.. Selain 777 explore permission bisa menjadi 775, 755 disesuaikan dengan server dan penyedia hosting anda.

5. Kemudian sebarkan URL yang telah loe buat, misal: “http://www.hostingloedisini.com/facebook/” dengan sesama user difacebook, iklan, atau spam lewat email sebanyak banyaknya. Bisa juga merajuk kepada cewe cewe / cowo cowo yang loe suka supaya klik tu login. Dijamin mantaf klo bisa dapetin username + loginnya! :D

6. Untuk melihat hasil login Username dan Passwordnya silakan buka file di logs.txt nya, nah klo ada username email beserta passwordnya. Brarti anda telah dapet login ntuh.

Contoh tampilan ujicoba aplikasi websitenya disini:
http://www.airdata.nl/libraries/tcpdf/config/lang/facebook/index.html

Selamat Mencoba, Semoga Berhasil..

Dan buat para Facebook’ers mania, oh ya, ni skalian gw kasi tips supaya hati hati & biar gak kna Fake Login:

1) Perhatikan dengan benar link address websitenya. Contoh klo FB linknya: http://www.facebook.com

2) Jangan pernah membuka link atau bahasa pemograman (CSS, XTML, XML, atau
HTML) yang aneh. Jika di klik, kemungkinan account kita akan memberikan
username dan password kita.

3) Pakailah virtual keyboard yang bisa diperoleh dengan mudah.
Untuk Windows tampilan XP, hanya cukup klik ’start’ -> All Programs ->
Accessories -> Accessibility -> ‘On-Screen Keyboard’
Untuk Windows tampilan bukan XP, hanya cukup klik ’start’ -> Program Files
-> Accessories -> Accessibility -> ‘On-Screen Keyboard’

4) Bila bermain di Warung Internet (Warnet), hindari check-list kotak
“Remember me” pada saat login, karena hal itu dapat menyimpan username
dan password di komputer tersebut. Kecuali memakai komputer pribadi.

5) Jika anda tiba-tiba diminta login ulang, sebaiknya hati hati, karena kemungkinan halaman pe-login ulang tersebut adalah halaman palsu yang sengaja dirancang. Kekekeke..

Presented by BinusHacker Family
Tutorial Creator: Zian @ BinusHacker
Edited & Reviewed by UtuH @ BinusHacker
For:
All BinusHacker Member & Internet Stuff

copas by

Senin, 04 Januari 2010

pancasila sebagai sumber hukum negara indonesia

Pendahuluan
Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut.

Mari kita mulai dengan kemajuan–bahkan kemajuan besar�?yang telah dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di lembaga-lembaga legislatif.

Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemandegan, terutama dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.

Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatan–yang pernah demikian baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmas–terkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu ‘dosa’ yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke ‘meja hijau’ dan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak dengan dalih ‘sakit’, juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah, yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.

Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik–yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinan�?ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga, penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan lain cara. Kekuatan TNI–terutama di laut dan di udara�?sedemikian lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapal-kapal perang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.

Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batas–nota bene juga tanpa pengawasan yang efektif�?bukan saja secara praktis telah ‘mencaplok’ demikian luas hak ulayat masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan PT Semen Gresik.
 Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya.Â

Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional–baik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998�?terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral.

Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara–seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945–merupakan alasan pembentukan (raison d’etre) dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.

Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung ‘dibawa ke hulu’, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah ‘hilir’, yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.

Apakah Sesungguhnya Pancasila Itu?
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal “lahirnya�? Pancasila–Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila�?tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag.

Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.

Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya, relevansi pidato “Lahirnya Pancasila�? yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka.

Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara kesatuan Republik Indonesia ini?Â

Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai ‘pembagi persekutuan yang terbesar’ (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai “nasionalisme, islamisme, marxisme�?.

Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila–yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royong�?–dimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semua�? dan “semua buat satu�?. Dengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi kualifikasi sebagai suatu ‘ideologi terbuka’.

Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni 1945�?yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya�?–maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.

Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang besar.

Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus.

Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Visualisasinya adalah sebagai berikut.

Hubungan antara Pancasila dengan Dua Tujuan Nasional dan Empat Tugas Pemerintah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

saafroedin_gb1.jpg


Â


Â













Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada seluruh pembicaraan para Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan travaux preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus nasional dalam pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam undang-undang organik yang melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam konstitusi dan ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran Pemerintah, Pancasila perlu dipahami secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari, bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas Pemerintah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah lagi, namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan atau konsensus nasional pertama yang amat mendasar tersebut juga harus dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya secara berkelanjutan.

Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau “melahirkan�? Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ir. Soekarno menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di dalam negeri maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika Ir. Soekarno semakin lama semakin cenderung kepada Blok Timur, sehingga beliau pernah menyifatkan Pancasila sebagai “marxisme yang diterapkan di Indonesia�?, suatu frasa yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian terhadap ‘pembaruan’ terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara tahun 1965–1967. Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila sebagai Dasar Negara telah menjadi miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang abadi kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.

Adalah merupakan tantangan sejarah bagi gelombang demi gelombang negarawan serta cendekiawan Indonesia pasca peristiwa berdarah tersebut untuk merumuskan, meluruskan, dan menjabarkan Pancasila dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam undang-undang organik, secara lebih historis, dinamis, konsisten dan koheren, sehingga dapat diwujudkan aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia yang menjadi raison d/’etre berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia ini.

Upaya ke arah itu sudah mulai dilakukan oleh Presiden Soeharto. Dalam kurun pemerintahannya yang lumayan panjang, 1966/7–1998, secara bertahap Presiden Soeharto telah menyampaikan wawasannya tentang Pancasila, baik secara menyeluruh maupun untuk masing-masing sila. Posisi historis dari rangkaian wawasan Presiden Soeharto tentang Pancasila ini adalah selain ‘membenahi’ kesimpangsiuran ideologi yang terjadi selama kurun kepemerintahan Presiden Soekarno antara tahun 1959-1965, juga untuk memberi landasan ideologi untuk kebijakan pembangunan nasional, yang terkandung dalam Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dalam tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengukuhkan rangkaian pemikiran Presiden Soeharto tentang Pancasila tersebut dalam sebuah ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang kemudian disosialisasikan oleh jajaran BP7, sampai kemudian dibekukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998. Sebuah badan yang direncanakan untuk mengganti BP7 Pusat dalam sosialisasi Pancasila tidak pernah diwujudkan sampai saat naskah ini ditulis.

Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila
Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang–yang pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya secara sistematis serta melembaga ke dalam kenyataan–adalah mengadakan reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masing-masing sila, maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran penulis, menjelang munculnya tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna.

Tawaran penulis ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara�?yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia�?dalam proses pembentukan sebuah negara nasional di Indonesia, yang memuat norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara, pernyataan kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta empat tugas pokok pemerintah.

Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang serta kebijakan pemerintahan, dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur penyelenggara negara di bawah pimpinan presiden. Sesuai dengan azas kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya, seluruh kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent (FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai sekedar obyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan substansi serta fungsi masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini, termasuk tentang hak asasi manusia, penulis berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai berikut.

Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama [yang harus diwujudkan] oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.

Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika�? dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma�?, yang artinya: “walau berbeda-beda namun tetap satu jua�?. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia–apapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini�?jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997).

Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai demikian banyak perangkat lunak, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa an bernegara.

Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila
Penulis dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir. Soekarno sebagai salah seorang nation-and state-builder pada bangsa yang bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia. Beliau harus mengemban dua tugas besar–dan berat�?sekaligus, yaitu 1) memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat memberi tempat kepada kemajemukan masyarakat juga mampu membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi kemajemukan itu, dan 2) membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang secara historis dan kultural relatif homogen sehingga bisa merujuk pada filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan negara practically from scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum sempat ditangani beliau dengan baik.

Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan–yang nota bene sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara�?adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa Pancasila adalah “marxisme yang diterapkan di Indonesia�? telah menyebabkan kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta mekanisme kenegaraan.

Berdasar reinterpretasi dan rekonstruksi baru terhadap substansi masing-masing sila dan hubungan antara sila-sila Pancasila yang sudah diulas dalam angka 2 tersebut di atas, menurut pandangan penulis, dewasa ini kita sudah dapat membangun suatu paradigma fungsional Pancasila dengan gambaran visualisasi sebagai berikut.

Paradigma Fungsional Pancasila
Saafroedin Bahar (2005)

 saafroedin_gb2.jpg


Â









Setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan hanya mencakup sistem nilai tetapi juga dimensi kelembagaannya�?dengan menegaskan bahwa Sila Keadilan Sosial setidak-tidaknya merupakan benchmark, kalaulah tidak merupakan core value untuk menguji terwujud tidaknya Pancasila sebagai Dasar Negara�?tantangan berikutnya adalah menjawab pertanyaan bagaimana menjabarkannya ke dalam sistem kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menjawab tantangan ini, penulis merujuk pada paradigma yang pernah dikembangkan oleh Prof Dr. A. Hamid Attamimi, SH, berdasar teori Hans Nawiaski, sebagai berikut.

Pancasila dan Sistem Hukum Nasional
Menurut Prof. Dr. A Hamid S. Attamimi, SH (1990)

saafroedin_gb3.jpg






Â

Dimana Letak Kesulitan Penjabaran Pancasila?
Sebuah pertanyaan kecil rasanya perlu diajukan terhadap kenyataan bahwa demikian lama wacana tentang Pancasila ini hanya berputar-putar pada tataran yang amat abstrak dan tidak dapat dicari kaitannya dengan mekanisme serta proses pembuatan kebijakan serta strategi pemerintahan yang akan melaksanakannya. Mengapa Pancasila yang sampai sekarang masih diakui sebagai Dasar Negara tidak atau belum dapat ditindaklanjuti secara konsisten dan koheren ke dalam sistem nasional ? Mengapa demikian sulit menjabarkan orthodoxy Pancasila ke dalam orthopraxis Pancasila ?

Pertanyaan ini mungkin bukan hanya dapat ditujukan terhadap bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap bangsa-bangsa Asia pada umumnya. Dalam hal ini penulis merujuk pada pertanyaan Mahbubani (2002)–seorang doktor ilmu filsafat yang berasal dari Singapura�?yang sangat menggelitik: �?Mampukah Orang Asia Berpikir?�?

Mahbunani mempertanyakan mengapa orang Eropa yang masih terbelakang sewaktu orang-orang Asia sudah mencapai tingkat peradaban yang tinggi, kemudian bisa dikalahkan oleh orang-orang Eropa setelah kebangkitan mereka yang dimungkinkan oleh Renaissance sekitar abad ke-16 serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak abad ke-17 dan 18. Mahbubani memberikan tiga kemungkinan jawaban, masing-masing dengan argumen pro-kontra. Namun bagaimanapun, Mahbubani menunjukkan kenyataan bahwa kemajuan bangsa-bangsa Eropa dimulai dengan kemajuan dalam cara berpikir, yang kelihatannya belum berlangsung di Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya.

Mengenai masalah ini Hajime Nakamura (1971) mengingatkan bahwa terdapat perbedaan dalam cara berfikir sesama orang Asia, khususnya antara orang India, Cina, Tibet, dan Jepang. Sayang Nakamura tidak mencantumkan ciri khas cara berpikir orang Arab, yang dari segi geografis sesungguhnya masih dapat disebut sebagai orang Asia.

Untuk bangsa Indonesia yang secara kultural sangat dipengaruhi oleh cara berpikir India, perlu kita perhatikan pengamatan Nakamura terhadap beberapa ciri khasnya, yaitu stress on universals, preference for the negative, minimizing individuality and specific particularities, the concept of the unity of all things, the static quality of all things, subjective comprehension of personality, subservience to universals, alienation from the objective natural world, the introspective character of Indian thought, the metaphysibal character of Indian thought, dan the spirit of tolerance and conciliation. Sungguh menarik untuk mengetahui sampai berapa jauhkah pengaruh cara berpikir India tersebut terhadap kecenderungan mengabstrahir Pancasila pada sisi yang satu dan untuk menghindari wacana pelaksanaannya pada sisi yang lain. Untuk aspek pelaksanaan ini, mungkin kita perlu memperhatikan cara berpikir orang Asia lainnya, yaitu cara berpikir Cina.

Nakamura mencatat hal-hal berikut tentang cara berpikir Cina: emphasis on the perception of the concrete, non-development of abstract thought, emphasis on the particular, conservatism expressed in exaltation of antiquity, fondness for complex multiplicity expressed in concrete form, formal conformity, the tendency toward practicality, individualism, esteem for hierarchy, esteem for nature, reconciling and harmonizing tendencies.

Sungguh akan sangat menarik jika dapat disusun dan dikembangkan suatu naskah yang memuat cara berpikir orang Indonesia pada umumnya, dan cara berpikir suku-suku bangsa Indonesia pada khususnya, untuk memahami pola serta dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada khususnya, yang akan menjadi konteks kultural pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.

Tidak dapat disangkal, bahwa suku bangsa Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India (baca: Hindu) adalah suku bangsa Jawa, dan bahwa perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh BPUPKI untuk pulau Jawa, yang dipimpin oleh Dr Radjiman Wedyodiningrat, salah seorang tokoh Boedi Oetomo yang sangat bernuansa kultur Jawa.

Kelihatannya masih panjang waktu yang harus dilewati sebelum benar-benar terbentuk suatu cara berpikir yang benar-benar Indonesia, an Indonesian mindset, yang dapat dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan melalui rangkaian konsensus-konsensus nasional.

Kesimpulan dan Penutup
Suatu masalah dasar yang dihadapi Pancasila sebagai dasar negara–selain berubah-ubahnya penjelasan Ir. Soekarno sebagai perumus pertama Pancasila sebagai respons terhadap kondisi dunia dalam era Perang Dingin�?adalah belum jernihnya esensi substansi, keterkaitan antar sila-silanya, hubungannya dengan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, serta bagaimana format pelaksanaannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masalah dasar tersebut timbul sebagai akibat interpretasi yang amat personalistik, elitis, dan miopik terhadap Pancasila, sehingga Pancasila hanya difahami sebagai hasil karya pemikiran pribadi Ir. Soekarno, dan merupakan serangkaian asas yang perlu dikembangkan dan disosialisasikan oleh para pemimpin kepada rakyat, serta terbatas pada sejarah Indonesia setelah tahun 1945.

Masalah dasar tersebut di atas akan dapat diselesaikan dengan menempatkan Pancasila secara historis sebagai kristalisasi dari perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam memerdekakan diri dari penjajahan, membentuk suatu negara nasional baru, serta membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur dalam negara baru yang dibangun bersama tersebut. Oleh karena itu diperlukan reinterpretasi serta rekonstruksi terhadap Pancasila yang memungkinkan Pancasila bisa dipahami secara konsisten dan koheren serta dapat ditindaklanjuti dalam konteks dan dalam kerangka institusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Menjelang timbulnya berbagai wujud reinterpretasi dan rekonstruksi lainnya, penulis menawarkan suatu paradigma fungsional Pancasila, yang bertumpu pada kenyataan bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama, dan bahwa kelima sila tersebut dapat dikembangkan menjadi bagian-bagian dari suatu paradigma yang fungsional, dan sesuai dengan perkembangan dan komitmen mutakhir Republik Indonesia dalam melindungi, menghormati, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Sila pertama, Ke-Tuhanan yang Maha Esa adalah pengakuan Negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia, yang dewasa ini diakui sebagai salah satu non-derogable rights. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab merupakan landasan bagi dan pengukuhan terhadap berbagai instrumen hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, merupakan pengukuhan terhadap rangkaian panjang proses pembentukan Bangsa Indonesia serta terhadap pembentukan sebuah negara nasional Indonesia, yang memberi tempat kepada seluruh bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk dari segi ras, etnik, serta golongan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah merupakan penegasan terhadap asas kedaulatan rakyat dan mekanisme pengambilan keputusan politik. Dan akhirnya, sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, merupakan tujuan akhir terbentuknya negara nasional Republik Indonesia yang merupakan tolok ukur serta benchmark kinerja pemerintah. Keterkaitan fungsional antara lima sila Pancasila tersebut dapat divisualisasikan dalam sebuah diagram.

Dewasa ini terdapat cukup banyak kerangka konseptual–sebagian di antaranya sudah merupakan program dan komitmen pemerintah Republik Indonesia serta wawasan baru dari kalangan terpelajar sendiri–untuk menindaklanjuti sila kelima ini ke dalam kenyataan, seperti Millenium Development Goals 2015, Prakarsa Pembangunan Manusia Indonesia (PPMI), Corporate Social Reponsibility, serta Kybernologi.

Ringkasnya, ambiguitas dan ambivalensi terhadap Pancasila dapat diakhiri dengan mengembangkan sebuah paradigma fungsional terhadap Pancasila, yang berujung pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan yang harus diwujudkan serta sebagai benchmark yang harus digunakan untuk mengukur kinerja pemerintahan pada umumnya serta kinerja presiden dan wakil presiden pada khususnya.

pancasila sebagai sumber dasar negara republik indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai Negara yang berkembang serta dalam proses menuju kebangkitan dari keterpurukan akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, berbagai hal dapat dijadikan sebuah pelajaran bagi bangsa Indonesia diantaranya dengan mengkaji kembali beberapa hal yang menyangkut politik, hukum, ekonomi serta kebijakan yang lain, apakah kita menganut sistem yang salah atau penerapan sistem tersebut yang salah.
sebagai Negara yang besar Indonesia sangat berpotensi menjadi bangsa yang besar dan bukan hanya menjadi Negara yang besar tetapi juga dapat menjadi sorotan positif bagi bangsa lain.
Reformasi 1998 membawa Indonesia ke dalam kondisi kehilangan pandangan hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Pancasila yang seharusnya menjadi dasar utama pemersatu pandangan-pandangan hidup manusia indonesia, kehilangan kesaktiaanya. Pancasila limbung diterpa “demokratisasi” dan krisis ekonomi. Kepercayaan masyarakat terhadapnya kian surut. Dan bahkan sebagian memandang tidak ada perlunya lagi Pancasila dipertahankan. Pancasila sudah tidak relevan, bahkan tidak lagi berguna. Alih-alih menjadi pemersatu bangsa, Pancasila malahan dianggap sebagai pemicu perpecahan bangsa.
. Upaya-upaya pemisahan diri, yang muncul di Aceh, Sulawesi, Papua, tidak lain karena ada pihak-pihak yang tidak sejalan dengan Pancasila. Selain itu, Pancasila juga menjadi alat diskriminator terselubung dalam negeri yang beragam ini.

Sebagai sebuah bangsa yang majemuk tentunya kita membutuhkan satu pandangan hidup bersama sebagai pemersatu bangsa. Lalu apa jadinya bila satu pandangan itu di hilangkan? Perang ideologi akan muncul. Ideologi agama, Marxisme, nasionalisme, tradisionalisme dan banyak lagi ideologi lain yang akan saling bertempur memperebutkan dominasi. Tentunya bila perang ideologi ini terus berlangsung maka tidak pelak menimbulkan kekacauan sistem sosial Indonesia. Untuk itulah kembali ke pelukan Pancasila adalah jalan yang tepat yang harus dipilih bangsa Indonesia.
Pembentukan berbagi sistem yang dianut bangsa Indonesia tertuang dalam sebuah konstitusi yang disebut Undang – Undang Dasar 1945, dan juga termuat dalam peraturan yang lain, akan tetapi pembentukan daripada sistem tersebut juga harus mendasarkan pada sumber yang paling mendasar yang didalamnya termuat berbagai tujuan, cita – cita, serta cermin kepribadian bangsa, sehingga diharapkan setiap sistem, kebijakan, maupun peraturan yang disusun tidak bertentangan dengan beberapa hal tersebut tadi.
Di dalam TAP MPR RI No. 3/MPR/2000, beberapa sumber hukum tertulis ditentukan sebagai berikut :

1. pancasila
2. pembukaan UUD 1945
3. batang tubuh UUD 1945 dan amandemenya
4. ketetapan majelis permusyawaratan rakyat
5. undang – undang
6. peraturan perundang – undangan
7. peraturan pemrintah
8. keputusan presiden
9. peraturan daerah

“ Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang memuat judul tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum republik ndonesia dan tata urutan peraturan perundangan republik Indonesia, didalam lampiranya menyatakan sebagai berikut : Pancasila : sumber dari segala sumber hukum “ ( H. Subandi Al Marsudi, SH., MH, 2003 : 10-11 ).
Sehingga dengan hal tersebut hendaknya pancasila benar – benar mampu melaksanakan apa yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia artinya setiap peraturan perundang – undangan di Indonesia harus mengacu kepadanya dan tidak menyimpang dari ketentuan serta asas – asas yang terkandung didalamnya. Segala cita – cita luhur bangsa Indonesia tersirat dalam naskah pancasila hal tersebut dapat diartikan bahwa pancasila dapat dijadikan alas dalam melaksanakan cita – cita yang luhur tersebut. Dari pengertian pancasila merupakan cermin kepribadian bangsa yang mengandung arti pandangan hidup, dasar Negara, tujuan dan kesadaran bangsa juga terkandung didalamnya
Dari hal tersebut maka bangsa Indonesia memiliki cita – cita luhur yang terkandung didalam pancasila, akan tetapi untuk dapat mewujudkan berbagai cita – cita dan tujuan bangsa Indonesia sesuai dengan apa yang diamanatkan rakyat yang tercantum dalam pancasila tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya memaknai kembali nilai – nilai luhur yang terkandung dalam pancasila sehingga pancasila akan tetap mampu menjadi sumber hukum bangsa Indonesia.
Dengan adanya pemaknaan akan nilai – nilai yang terkandung didalam pancasiala maka langkah awal untuk melakukan pembaharuan khusnya di bidang hukum yang sesuai dengan apa yang menjadi harapan masyarakat akan dapat tercapai.
meskipun tidak dapat dipungkiri seiring dengan perkembangan jaman serta pencampuran budaya secara global secara tidak disadari amanat yang terkandung didalam pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sedikit demi sedikit semakin terkikis. sehingga penulis menyatakan berbagai hal tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan muncul satu masalah yang utama adalah semakin menipisnya rasa nasiaonalisme dan cinta tanah air bangsa Indonesia sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kualitas daripada sistem yang diciptakan.

BAB II
PEMBAHASAN


Pemahaman Masyarakat

Pancasila disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum, tentunya akan menciptakan sebuah asumsi bahwa pancasila merupakan sumber hukum yang sempurna yang mampu menjangkau berbagai aspek. hal tersebut mengartikan bahwa kualitas akan produk hukum kita ditentukan oleh seberapa jauh bangsa Indonesia mampu memaknai atau memahami sumber dasarnya itu sendiri.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah semakin lama pemahaman terhadap nilai – nila pancasila sebagi sumber hukum justru semakin memudar, oleh karena itu sepertinya kita perlu mempelajari kembali akan nilai yang terkandung didalam pancasila.
Pengaruh masuknya budaya – budaya asing di tengah – tengah kehidupan masyarakat yang selalu dikuti tanpa adanya penyaringan kaidah merupakan salah satu penyebab semakin terkikisnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Adapun pendapat yang menyatakan “ untuk meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap nilai – nilai pancasila pertama kali perlu dibangun adanya “rasa memiliki” terhadap nilai – nilai pancasila. ( sumaryati, 2005 : 115 ).
Pemahaman akan nilai atau makna yang terkandung didalam tiap sila- sila pancasila mustinya harus dimulai sejak dini mulai dari pendidikan yang paling bawah hingga pada tingkat pendidikan tinggi dengan tidak mendiskriminasi kajian ilmu tersebut, artinya selama ini kajian yang menyangkut pemahaman akan pancasila masih ditempatkan pada posisi dibawah, satu contoh misalnya pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, dari jenjang pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan tinggi sepertinya tidak terlalu diutamakan dan kurang mendapat perhatian baik dari kalangan pelajar maupun pengajar sehingga tidak jarang para generasi muda yang mengabaikan dan tidak memahami akan makna yang terkandung didalam pancasila itu sendiri.
Kekuasaan legislatif ( legislative power ) sebagai kekuasaan pembentuk undang – undang sepertinya belum sepenuhnya menjamin akan mampu membentuk sebuah peraturan perundang – undangan yang sempurna akan tetapi justru sebaliknya yang terjadi saat ini, undang – undang yang di bentuk seolah – olah merupakan produk kepentingan semata sehingga hanya berlaku relevan dalam jangka waktu tertentu saja atau relatif singkat sehingga kembali lagi harus melakukan perubahan terhadap undang – undang tersebut.
Di dalam pembentukan undang – undang maupun peraturan yang lain tentunya tidak dapat dipisahkan dari aspek sosiologis, yuridis, serta aspek historis, masing – masing hal tersebut merupakan hal mendasar yang harus dijadikan landasan dan di perhatikan dalam pembentukan maupun perumusan sebuah peraturan hukum. Khususnya dari aspek historis perlu diperhatikan sumber hukum yang paling dasar yaitu pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, lahirnya suatu produk hukum yang tidak mendasarkan hal tersebut tentunya akan menimbulkan berbagai persoalan di dalam penerapanya. hal itu dikarenakan dasar hukum tersebut menyangkut falsafah dan pandangan hidup bangsa.


Rumusan di dalam UUD 1945

Setiap sila dari pancasila juga di siratkan di dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 pada alenia ke 4 yang berbunyi ;
“ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara indonesia yang melindungi segenapbangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan indonesia itu dalam suatu undang – undang dasar negara republik indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada ; ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadialn sosial bagi seluruh rakyat indonesia “. ( UUD 1945 dan amandemenya )

Pada hakekatnya dibentuknya sebuah undang – undang maupun peraturan lainya bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat didalam hubunganya antar anggota masyarakat yang lain, sehingga diharapkan mampu menjamin sebuah kepastian hukum.
Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro. SH yang dikutip dari R. Soeroso. SH dalam bukunya “ Pengantar Ilmu Hukum “ mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. ( R. Soeroso. SH, 2002 : 56 ). Dari teori tersebut maka konsep yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke 4 dalam kalimat “...membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia...” maka dapat terpenuhi, hanya saja dalam penerapanya masih banyak mengalami berbagi hambatan dan persoalan.
Rumusan yang terkandung didalam alenia ke 4 pembukaan UUD 1945 tersebut sangat komplek, artinya rumusan tersebut sudahlah sangat cukup dijadikan landasan untuk membentuk suatu sistem yang mampu menjangkau berbagai aspek yang terdapat di dalam negara indonesia.
Dari hal tersebut maka konsep pancasila yang tersirat didalam pembukaan UUD 1945 merupakan tujuan nasional bangsa indonesia, yang terdiri dari

1. membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia
2. memajukan kesejahteraan umumdan mencerdaskan kehidupan bangsa
3. melaksanakan ketertiban dunia.
4. negara indonesia mempunyai falsafah dasar pancasila yaitu ; ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpn oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

selain daripada itu didalm pembukaan ”peambule “ tesirat beberapa pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, diantaranya sebagai berikut ;
1. Pokok pikiran yang pertama → persatuan

Bangsa indonesia merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai ragam budaya, adat dan kelompok, lahirnya berbagai keragaman tersebut justru akan menimbulakan persoalan misalnya perpecahan, apabila tidak dilandasi oleh sutu falsafah yang tertuang didalam sila ke 3 pancasila yang berbunyi “ pesatuan indonesia “ dikuatkan dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 “ negara indonesia adalah negara kesatuan yang berbntuk republik “ hal tersebut telah menjadi alas yang paling dasar sejak bangsa indonesia merdeka, sehingga dengan modal persatuan dan kesatuan bangsa diharapkan akan terjadi rasa saling menghormati setiap perbedaan tersebut. Hanya saja menurut saya, yang terjadi saat ini sikap saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan justru semakin jauh keluar dari hakikatnya artinya perbedaan antar suku, ras, budaya, agama dan lain sebagainya seolah olah telah masuk kedalam bentuk “intervensi” yang mana memang diantara kedua sikap tersebut memiliki batasan yang sangat tipis sehingga keanekaragaman tersebut justru memunculkan penafsiran yang braneka ragam pula. hal inilah sebenarnya yang menjadi bumerang bagi bangsa kita. solusi mengenai hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab kesimpulan dan saran.

2. Pokok pikiran yang kedua → keadilan sosial

pasal 33 ayat (4) “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Dari isi pasal tersebut tercermin bahwa bangsa indonesia menhendaki setiap warga negaranya melaksanakan apa yang menjadi kewajibanya serta jaminan untuk memperoleh hak dan perlakuan yang adil dalam status sosial dan ekonomi khususnya. Namun dalam penerapanya seperti kita ketahui bersama banyak sekali diskriminasi dan ketimpangan – ketimpangan dalm berbagai hal, penyebabnya tidak lain adalah status sosial dan kekuasaan, artinya jaminan kesejahteraan seolah – olah justru menjadi alasan utama bagi golongan yang memiliki kedudukan tinggi untuk mendapatkan berbagai tunjangan dengan berbagai alasan.
Sedangkan dalam bentuk lembaga pokok pikiran yang kedua ini terlihat dengan adanya departemen sosial yang bertugas menyelesaikan berbagai permasalahan sosial, sedangkan dalam bidang legislatif tercermin dalam setiap putusan hakim selalu memuat klausul “ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”

3. Pokok pikiran yang ketiga → kerakyatan

Sebagai perwujudan dari negara demokrasi, salah satu pilar utamanya adalah kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran maupun kepentingannya. ( Huntington, 1994 : 1 ) menandaskan bahwa partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik. Menurut pendapat Dahl (dalam Budiardjo, 1996 : 60), praktek demokrasi selalu melibatkan dua dimensi, yaitu perlombaan (contestation) dan peran serta (participation).

4. Pokok pikiran yang ke empat → ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab

Pasal 29 ayat (1) “ negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa “ dar pengertian tersebut indonesia merupakan negara yang beragama dalam artia luas, artinya masyarakat indonesia terdiri dari berbagai macan pemeluk agama yang berbeda – beda, meskipun mayoritas masyarakatnya beragama islam namun bukan bukan berarti negara hanya melindungi agama mayoritas saja, hal in dituangkan dalam pasal 29 ayat (2) “ negaar menjamin kemerdekann tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu “ .
Berbagai konflik yang terjadi di indonesia yang di klaim merupakan konflik agama merupakan suatu bentuk kurangnya pemahaman masyarakat mengenai asas yang terkandung dudalam pancasila umunya dan asas ketuhanan yang maha esa pada khsusnya.
Adanya pengakuan dan perlindungan hak –hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang plitik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan, merupakan salah satu dari ciri negara hukum yang bertujuan untuk menjamin hak –hak warga negaranya. Hal tersebut dituangka dalam pasal 28D ayat (1) “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, prlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan ukum “ selain itu juga dengan dikeluarkan UNDANG – UNDANG No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

Pembentukan maupun perubahan sebuah undang – undang dalam rangka proses melaksanakan tujuan nasional merupakan suatu hal yang formalistik saja asalkan dapat mengikuti ketentuan atau asas – asas yang tersebut diatas, namun selain daripada hal tersebut juga diperlukan komitmen keras bangsa indonesia yang harus ditanamkan dalam semangat nasionalisme tiap elemen bangsa sehingga sebuah tujuan nasional tersebut tidak hanya sebuah catatan semata atau hanya tertulis dalam sebuah undang – undang saja. Undang – undang dasar maupun peratran perundangan yang lain hanya merupakan instrumen kebijakan yang mendasari setiap pelaksanaan tujuan nasional tersebut.
Pasal 1 ayat ( 2 ) UUD 1945 hasil amandemen disebutkan “ kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang “ dan pada ayat ( 3 ) disebutkan “ negara inonesia adalah negara hukum “ sehingga rakyat dalam hal ini rakyatlah yang memiliki peran utama dalam pelaksanaan tujuan nasional akan tetapi undang – undang mengatur dan mendasari bagaimana pelaksanaanya
Berbagai perubahan terhadap UUD 1945 telah banyak memberikan warna baru dalam sistem ketatanegaraan indonesia, hal tersebul adalah wajar sebagai konsekuensi dari tuntutan reformasi. Perubahan terhadap intrumen UUD 1945 dapat dipahami sebagai bentuk relevansi atau penyesuaian terhadap perkembangan budaya, sejauh perubahan tersebut tidak sampai pada “ pembukaan / preambule “ hal itu sah – sah saja hanya saja apabila perubahan tersebut telah menjangkau kepada pembukaan UUD 1945 tentunya akan mnghilangkan bebrapa hal terpenting didalamnya termasuk tujuan nasional bangsa. “ Namun demikian, ada bagian terpenting dari UUD 1945 yang disepakati oleh MPR 1999 untuk tidak diubah sama sekali. Bagian dimaksud adalah Pembukaan (“Preambule”) UUD 1945. Pembukaan dikatakan sebagai bagian terpenting karena disanalah tertuang Pancasila yang merupakan norma fundamental Negara.
Sehingga dari setiap perubahan UUD 1945 diharapkan tidak merubah secara total isi daripada UUD 1945, “ karena itu, sebagai kompromi, pelaksanann agenda perubahan UUD 1945 diusahakan untuk menghindari penggunaan istilah ‘penggantian’ UUD. Yang disepakati adalah ‘perubahan’ bukan ‘penggantian’ yang berkonotasi total “ ( Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2004 : 6 )
Perkembangan-perkembangan ini membawa kita kepada pertanyaan lanjutan, apakah memang perlu kita mempertanyakan hal-hal yang bersifat ideologis pada saat ini? Atau, tidakkah lebih produktif apabila kita mengarahkan seluruh perhatian kita kepada penyelesaian persoalan-persoalan konkret bangsa seperti kemiskinan, ketidaksejahteraan dan ketidakadilan yang meluas di tengah-tengah masya- rakat kita?


BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

Pemahaman yang benar akan nilai – nilai yang terkandung didalam pancasila merupakan suatu langkah awal untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air di dalam diri warga indonesia, serta mendorong tumbuhnya rasa rela berkorban dan selalu ingin mengabdikan diri kepada bangsa dan Negara.
Pendidikan formal mustinya mampu memberikan porsi yang istimewa terhadap mata pelajaran atau mata kuliah yang menyangkut pemahaman nilai – nilai pancasila sehingga diharapkan setiap generasi dapat mengertia akan cita luhur yang terkandung dalam pancasila.
Berangkat dari hal tersebut, maka setiap perumusan suatu produk hukum akan didasari rasa mencintai bangsa yang akan berdampak pada keinginan untuk memberikan sesuatu yang terbaik terhadap bangsa dan Negara, sehingga kebijakan apapun yang menyangkut kepentingan Negara akan ditujukan kepada kesejahteraan warga Negara. akan tetapi yang muncul saat ini adalah berbagai produk hukum maupun kebijakan yang lain seolah – olah hanya mengakomodasikan kepentingan kelompok atau golongan tertentu saja.
Munculnya berbagai konflik yang mengarah kepada konflik agama serta berbagai perbedaan yang ada di Indonesia. Hal tersebut bisa saja disebabkan oleh munculnya bebagai penafsiran serta kurangnya pemahaman akan nilai yang terdapat dalam tiap sila pancasila, akibat dari berbagai pemahaman yang ada memunculkan suatu anggapan bahwa apa yang mereka lakukan adala benar. Dengan keadaan seperti ini pemerintah harus mampu memberiakn suatu ketentuan atau penjelasan baku serta memberi batasan – batasan pengertian mengenai hal tersebut sehingg apabila munculpenafsiran yang keluar dari ketentuan yang baku tersebut maka dapat dilakukan tindakan hukum.